Makalah Sejarah Masa Kolonial Belanda

MAKALAH SEJARAH
                                           JUDUL                                
MASA KOLONIAL DI INDONESIA
DI
S
U
S
U
N
OLEH
TEUKU MARWAN

GURU PEMBIMBING :
SULAIMAN. TA

SEKOLAH TERPADU
SMA NEGERI 3 DARUL MAKMUR
KECAMATAN DARUL MAKMUR
KABUPATEN NAGAN RAYA
TA. 2013/2014

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnya-lah maka kami bisa menyelesaikan makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah tentang “Perlawanan Terhadap Kolonialisme Belanda”, yang menurut kami  dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan bisa mengetahui perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat untuk semua pihak. Amin.








LK. Jagat, 24 April 2013
Penyusun

TEUKU MARWAN






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................      i
DAFTAR ISI .....................................................................................................     ii
BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang ...................................................................................     1
B.      Rumusan Masalah .............................................................................      1
BAB II PEMBAHASAN
1.      SISTEM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH PADA MASA PRA KEMERDEKAAN.....................................................................................   2
2.       MASA PENDUDUKAN TENTARA JEPANG.............................................    6   


BAB III KESIMPULAN..........................................................................................   9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................  10





















BAB I
PENDAHULUAN
A.            LATAR BELAKANG 
            Reformasi Sistem Penyelengaraan Pemerintahan daerah di Indonesia saat ini sebelumnya mengalami pasang surut yang dimana ditandai dengan berbagai kekurangan dan kelemahan praktek pemerintahan daerah di Indonesia sepanjang sejarah. Kondisi pemerintahan daerah yang ada sekarang terbentuk melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan, karena itu tidaklah bijaksana iika kita meninggalkan aspek historis tersebut dalam memajukan pemerintahan daerah. Minimal melalui pengalaman masa lalu pemerintahan daerah dengan berbagai kelemahan dan kekurangan akan menjadi acuan dalam memperbaiki dan menyempurnakan wajah pemerintahan daerah di masa depan. 

               Selama ini dapat dirumuskan beberapa paradigma pemerintahan daerah di Indonesia. Paradigma pertama dalam kurun waktu 1903-1922 pengakuan pemerintahan daerah dalam system pemerintahan Hindia Belanda. Paradigma kedua dalam kurun waktu 1922-1942 Desentralisasi versi kolonial. Paradigma ketiga dalam kurun waktu 1945-1959 mencari bentuk desentralisasi menuju demokrasi. Paradigma keempat dalam kurun waktu 1959-1974 desentralisasi yang dipaksakan. Paradigma kelima –Orde baru- dalam masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 Otonomi terbatas dan kecenderungan sentralistik dalam pelaksanaannya. Paradigma keenam dalam era Reformasi saat ini yaitu dalam masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 yang dapat disebut era arus balik kekuasaan pusat ke daerah. Dan saat ini dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004. 

B.             RUMUSAN MASALAH
1. SISTEM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH PADA MASA PRA KEMERDEKAAN.
2. MASA PENDUDUKAN TENTARA JEPANG
              

BAB II
PEMBAHASAN

A.         SISTEM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH PADA MASA PRA KEMERDEKAAN

            a. Sistem pemerintahan sentralis 
Pada Tahun 1854 Staten General (Parlemen Kerajaan Belanda ) telah menetapkan Regerings Reglement (disingkat R.R.), semacam UUD bagi indonesia pada masa waktu itu. Berdasarkan R.R. tersebut pemerintahan jajahan di Indonesia disusun secara sentralistis yang mana bahwa segala urusan pemerintahan jajahan di Indonesia dipegang oleh Gubernur jenderal yang bersemayam di Bogor atau oleh pejabat pemerintah Hindia Belanda yang kuasakan oleh Gubernur Jenderal. System ini disusun sedemikian rupa, sehingga segala urusan pemerintahan dikerjakan dan diatur oleh pegawai–pegawai pemerintah Hindia Belanda yang bertanggungjawab kepada Gubernur Jenderal yang bertindak selaku Mahkota Kerajaan Belanda. 

Pada waktu ini daaerah Hindia Belanda dibagi atas Daerah-daerah administrative yang dinamakan :
            a. Gewest
            b. Afdeling
            c. Onderafdeling
            d. Regentschap
            e. District
            f. Onderdistrikt

            Masing-masing daerah tersebut dikepalai oleh pegawai Pamong Praja Belanda yakni : Gouvernur atau Resident, Assisten Resident, Controleur, gezaghebber, atau dikepalai oleh pegawai Pamong Praja Indonesia ; Regent, wedana, assistant Wedana di jawa dan Madura, kepala distrik, kepala onderdistrik di luar Jawa dan Madura. “daerah dikuasai langsung” tidak mengenal Pesekutuan Bawahan yang mempunyai hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hanyalah Desa di jawa dan Madura dan persekutuan Hukum Adat yang mempertahankan kedudukannya sebagai Persekutuan Hukum Adat yang otonom. Pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis dalam suatu daerah yang luas telah mengakibatkan terbelengkainya urusan-urusan pemerintahan yang jauh dari pusat pemerintahan (Bogor) dan menyuburkan tumbuhnya birokrasi dalam pemerintahan.


            b. Sistem pemerintahan desentralisasi 

            Pada tahun 1893, untuk pertama kalinya rancangan undang-undang desentralisasi diajukan oleh menteri Van Dedem kepada Tweede dari Staten General yang mana akhirnya pada tahun 1903 berhasil diadakan perubahan dalam pasal 68 R.R. atas usul Menteri Idenburg. Dengan Undang-undang Desentralisasi tanggal 23 Juli 1903 (Staatsblad 1903 no. 329 “Decentralisatiewest”) telah merubah terhadap pasal 68 Regeringsreglement (yang mengatur pembagian wilayah Hindia Belanda atas Gewesten dan Gedeelten vab Gewesten ) dengan menambah 3 pasal baru (pasal 68a, 68b dan 68c)

Pasal-pasal baru tersebut memungkinkan untuk diadakannya Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat Lokal (Locale Raad) yang terdiri dari :
            1. Gewstelijke Raad
            2. Plaatselijike Raad
            3. Gemeenteraad 

            Dewan–Dewan tersebut diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga wilayahnya masing-masing. Dalam perkembangannya desentralisasi yang berdasarkan “decentralisatietwet”- 1903 tidak memuaskan maka dengan Undang-Undang tanggal 6 Februari 1922 (Staatsblad 1922 No. 2216 tentang Wetr op de bestuursher Vorming) telah diberi kemungkinan untuk dekonsentrasi dan desentralisasi kekuasaan secara besar-besaran. Sejak tahun 1925, mula-mula diselenggarakn di Jawa–Madura kemudian di luar Jawa–Madura diselenggarakan reorganisasi sistem pemerintahan local seluruhnya.

            c. Alat Perlengkapan Pemerintahan Di Indonesia Pada Masa Penjajahan
            I. Penjajahan Belanda
                1.1 Alat – alat Perlengkapan Hindia Belanda menurut Indische Staatsregeling :
                a. Gouverneur General (Gubernur Jenderal)
                b. Pegawai tertinggi di Hindia Belanda adalah Gubernur Jenderal, selaku
                       wakil Raja (Onderkoning) mewakili pemerintah Belanda, disebut juga
                       Wali Negara (LandVoogd).
                c. Diangkat oleh Raja atau Ratu Belanda dan mendapat usulan atau
                     pertimbangan Pengangkatan Gubernur Jenderal ditentukan Pula oleh
                      Menteri Penjajahan.
                            d. Masa jabatannya 5 Tahun
                 e. Gubernur Jenderal Harus Orang Belanda berumur ± 30 Tahun.
                 f. Memegang Sumpah Setia kepada Raja menurut segala perintahnya.
           
II. Pertanggungjawaban Gubernur Jenderal
               a. Gubernur Jenderal hanya mempunyai pertanggungjawaban administrasi, yaitu
        pertanggungjawaban sebagai pegawai negeri dalam menjalankan
        pemerintahan.
               b. Tidak mempunyai pertanggungjawaban politik terhadap Volkraad, artinya
       Gubernur Jenderal tidak menentukan haluan politik Negara sendiri. (hal ini
       tidak berlaku lagi setelah dikeluarkan sejak perubahan Grondwet 1922)

            III. Kekuasaan Gubernur Jenderal
               a. G.J mempunyai 2 kekuasaan yaitu :
                   1. Uitvoerende (bestuurende) macht : yaitu kekuasaan untuk menjalankan
            perundang-undangan.
                   2. Wetgevende (Regelende) macht, yaitu kekuasaan untuk membentuk atau
           mengatur perundangan-undangan.

 Perundang-undangan seperti :
                 a. Wet
                 b. A.M.V.B (Algemene Maatregeling Van Bestuur)
                 c. Ordonannantic
                 d. Regerings Verordeningen
            Sehubungan dengan itu termuat banyak pasal-pasal yang mengatur tugas menjalankan pemerintahan yang tersimpul dalam (I.S) bagi Gubernur Jenderal.

            IV. Hak- hak Gubernur Jenderal.
                1. Memberikan grasi (Recht Van Gratie) setelah mendapat nasehat dari
         Hooggreeshof (Mahkamah Aagung Hindia Belanda).
                2. Hak Exorbitant (hak luar biasa) dengan persetujuan Raad Van Indie (semacam
                    DPA) untuk melakukan hak-hak yang luar biasa yaitu :
                        a. Verbaning (Pembuangan)
                        b. Interneering (Pengasingan dalam Negeri)
                        c. Eksterneering (Pengasingan keluar Negeri)

            Pelaksaan hak-hak ini dilakukan tanpa sepengetahuan hakim terlebih dahulu. Orang-orang yang bersangkutan dengan tidak diadakan penuntutan dimuka pengadilan dapat dibuang (diasingkan keluar negeri) oleh G.J.










B.         MASA PENDUDUKAN TENTARA JEPANG

            Kemudian runtuhnya Hindia Belanda, yang ditandai dengan pendudukan Jepang, Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia pada tanggal 7 Maret 1942 mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 tentang Pemerintahan yang akan dilaksanakan Balatentara Jepang. Undang-undang ini merupakan peraturan pokok tentang ketatanegaraan pada masa Pendudukan Jepang yang mengatur bahwa Balatentara Jepang melaksanakan pemerintahan Militer untuk sementara waktu di daerah yang dikuasainya agar ketertiban dan keamanan segera tercipta. Pembesar Bala Tentara Jepang memegang kekuasaan militer tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu berada di tangan Gubernur Jendral. Semua badan Pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui syah untuk sementara waktu asalkan tidak berten-tangan dengan aturan Pemerintah Militer. Balatentara Jepang juga akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai yang setia kepada penguasa Jepang, begitu pula harta benda, jiwa yang syah dan agama sekalian rakyat yang tidak berdosa.

            Berdasarkan ketentuan tersebut nyatalah bahwa Balatentara Jepang akan melanjutkan ketentuaan pemerintahan lama dengan alat-alat perlengkapannya seperti Pangreh Praja tentu saja berjalan terus. Hal yang sama berlaku untuk Jawatan vertikal seperti Jawatan pos, Polisi, Kereta Api, Pegadaian, dan Pekerjaan Umum hanya saja pimpinan jawatan tersebut berada di tangan militer Jepang dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Wilayah Indonesia dibagi atas tiga wilayah pemerintahan yaitu Pemerintah Militer Angkatan Darat untuk Jawa dan Madura yang berkedudukan di Jakarta, pemerintahan Militer Angkatan laut untuk Sumatra yang berkedudukan di Sumatra yang berkedudukan di bukititnggi dan pemerintahan militer Angkatan laut untuk Sulawesi, Borneo, Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar. Pemerintahan Balatentara Jepang tidak dapat memikirkan tentang penyelenggaraan pemerintahan lokal sebab perhatian mereka tercurah pada mensukseskan perang Asia Timur Raya. Segala sesuatu yang mengangkut pemerintahan diarahkan pada tujuan mereka yaitu mensukseskan perang tersebut. Dalam menghadapi peperangan balatentara Jepang yang sedang memuncak maka pemerintahan harus sentralistis oleh karena itu desentralisasi harus ditiadakan. 

            Reorganisasi yang dilaksanakan oleh Balatentara Jepang adalah melaksanakan Perubahan Tata Pemerintahan Daerah yang termuat dalam Undang-undang tahun 1942 nomor 27. Menurut Undang-undang tersebut Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi Daerah Syuu setaraf Karesidenan, Setiap Syuu dibagi menjadi Ken atau Kabupaten dan Si setaraf Styadsgemeente. Disamping itu ada Tokubetsu Si atau Stadsgemeente Luar Biasa, kota yang istimewa yang ditunjuk oleh Gunseikan, Panglima Balatentara Jepang, yang mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Pada tingkat bawah ada Gun atau Distrik, Son atau Onder-Distrik, dan Ku atau Desa. Daerah Swapraja atau berpemerintahan sediri seperti Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta disebut Kooti. Selanjutnya wilayah Propinsi dengan gubernurnya dihapus. Demikian pula Afdeeling dan Asisten Residen. 

            Pada tahun 1943 ditetapkan bahwa Kentyoo atau Bupati sebagai Kepala Wilayah di Kabupaten diwajibkan mengganti dan memegang kekuasaan yang dahulu dipegang oleh Regentschaapraad dan College van Gecoominteerden san Sityoo diwajibkan mengganti dan memegang kekuasaan yang dahulu dipegang oleh Gemeenteraad dan College van Burgemeester en Wethouders. Hal ini berarti bahwa kekuasaan dalam daerah yang mengurus rumahtangganya sendiri yaitu Kabupaten dan kota diserahkan kepada seorang pejabat saja dan Dewan yang ada dibekukan. Dengan demikian yang terjadi adalah pemerintahan tunggal. Pemerintah Militer Jepang hanya menyelenggarakan bidang dekonsentrasi. Syuutjoo kekuasaannya lebih besar dari seorang Residen pada masa Kolonial Belanda. Karena ia mengerjakan tugas pemerintahan militer sehari-hari di bawah pengawasan dan atas nama Gunseikan. Syuutjokan juga diwajibkan membuat undang-undang yang terkenal dengan sebutan Syuurei yang mengatur segala urusan di wilayahnya baik ketataprajaan, militer, kepolisian, dan ekonomi. Sistem pemeintahan tunggal semacam itu berlangsung sampai September tahun 1943. Pada tahun itu dibentuk dewan baik di Pusat dan daerah yang bertugas memberi nasihat kepada pejabat tunggal tersebut. Karena sebatas penasihat maka kebijakan Syuutyokan tak bergeser karena ia menjalankan tugas atas nama Gunseikan. Terlebih lagi masa itu situasi peperangan semakin memuncak. Dengan menyerahnya Balatentara Jepang kepada Sekutu lenyaplah kekuasaan Balatentara Jepang yang meninggalkan akibat buruk pada lapangan penge-tahuan dan pengurusan rumah tangga daerah. 

            Maka secara mendadak pribumi menggantikan posisi-posisi yang semula dipegang orang belanda. Mengingat Jepang yang sedang menghadapi perang dengan sekutu maka sitem pemerintahannya pun disesuaikan dengan keadaan perang. Perubahan fundamental terjadi di Jawa yaitu ketika Gunseireikan atau Penguasa Militer di Jawa mengeluarkan Osamu Serei atau undang-undang nomor 27 tahun 1942 tentang Pemerintahan Daerah, dengan Pembagian Daerah, Karesidenan, yang membawahi beberapa Kabupaten/Regent. Dibawah kentyoo terdapat pada Kepala GUN/Distrik, kemudian kepala Son/Onder Distrik, kemudian Ku/Desa. Istilah RW dan RT merupakan unsur masyarakat lokal (tidak di gaji) yang pertama kali di perkenalkan oleh Jepang
Indonesia dibagi dalam 3 wilayah besar yakni :

            1. Daerah Jawa dan Madura yang dikuasai oleh Gunseikanbu jawa di Jakarta
            2. Daerah Sumatera di kuasai Gunseikanbu Sumatera di Bukit tinggi
            3. Daerah lainnya yang dikuasai oleh Minseibu yang bermarkas di Makasar

            Semua daerah otonom dihapuskan oleh segala pemerintahan di daerah, Kabupaten diserahkan kepada Kentyo – Kentyo dan shityo-shityo







BAB III
KESIMPULAN


            Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak dapat lepas dari pengaruh Hindia Belanda, sebagai negara modern pertama yang memperkenalkan atau mewariskan sistem pemerintahan dan lembaga-lembaga modern pada republik ini. Sejarah yang akan diuraikan dibawah ini, hanyalah bersifat ringkasan realita pelaksanaan Pemerintahan Daerah sebagai pelaksana tugas-tugas Pembantuan. Sekalipun telah terjadi beberapa kali pembaharuan sistem pada birokrasi Pemerintahan Kolonial, secara substansial sebenarnya tidak mengubah corak birokrasi pemerintah dalam berhubungan dengan publik. Kecenderungan semakin tingginya peran pemerintah pusat (sentralisasi kekuasaan) dalam profesi formulasi kebijakan pemerintah masih sangat mewarnai sistem pemerintahan yang terbentuk.

            Tumpang tindih antara fungsi eksekutif, legislatif, dan judikatif sangat nyata dalam pemerintahan lokal pada masa kolonial. Ketidak jelasan fungsi antara berbagai lembaga tersebut tampaknya memang disengaja agar kederadaan dewan lokal yang di dalamnya terdapat Bumi Putera yang sudah barang tentu menyuarakan kepentingan Bumi Putera dapat ditekan oleh penguasa Eropa agar kemungkinan munculnya bibit gejolak dapat diredam. Duduknya Gubernur dalam Provinciale Raden dan College van Gedeputeerden membuat lembaga Perwakilan tersebut sekedar pelengkap saja bukan sebagai lembaga perbantuan atau medebewind sebagaimana diinginkan. Mentalitas kolonial dari penguasa ternyata masih menunjukkan bekasnya pada masa kemerdekaan di mana lembaga legislatif seringkali justru menjadi alat eksekutif dalam rangka memperkokoh posisinya agar tetap kokoh seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
           



DAFTAR PUSTAKA


Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995 

Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, PT Pustaka LP3ES, Jakarta, 1996

Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997,










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Komunikasi Interaksi Simbolik

Makalah Komunikasi Massa "FILM"