Makalah Sistem Ploitik
SISTEM POLITIK MASA ORDE BARU
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK 4
T.MARWAN : 11c20220010
PRIMA DANSYAH :
11c20220022
ALIZAR : 08c20220005
NURJALIDAH : 11c20220021
NURHAYATI :
11c20220005
SUSI NOPRIANTI : 11c20220023
Fakultas ilmu
sosial dan ilmu politik
Universitas
teuku umar
2011/2012
BAB I
A. LATAR
BELAKANG
Bhineka Tunggal Ika. Ini salah
satu ciri khas Bangsa Indonesia. Beraneka ragam Suku Bangsa, Bahasa dan Agama
yang mengakibatkan keanekaragaman Adat Istiadat dan Budaya. Kemajemukan ini
merupakan Anugerah besar dari Alloh SWT. di satu sisi, tapi menimbulkan
permasalahan besar dalam pengelolaannya.
Bagaimana tidak ? Diperlukan
pengetahuan yang luas mengenai keinginan dan kebutuhan tiap individu dan
golongan. Diperlukan kebijaksanaan yang tinggi untuk mengatur penyelenggaraan
berbagai kepentingan. Diperlukan keadilan yang luhur untuk membagi sumber daya
alam kepada seluruh penduduk yang memiliki hak yang sama.
Mengetahui rumitnya persoalan di
atas, menjadi menarik untuk mengkaji bagaimana seharusnya Tipikal dan Kinerja
seorang Kepala Negara yang sekaligus merangkap Kepala Pemerintahan, di bumi
Alloh ini. Mengingat Orde Baru adalah rejim yang paling lama berkuasa, alangkah
bijak kita mempelajarinya untuk menjadi pelajaran berharga bila kelak
kesempatan memimpin itu datang.
B. RUMUSAN
MASALAH
Bangsa Indonesia adalah Bangsa
besar yang majemuk. Untuk mencapai Masyarakat yang sejahtera dalam arti
terpenuhi semua kebutuhan hidup dengan aman dan damai serta adil, sangat
tergantung kepada siapa yang memimpin dan apa tujuan dari kepemimpinannya
tersebut.
Berdasarkan hal di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut :
Bagaimana Tipikal seorang
Soeharto yang dapat bertahan selama 32 tahun berkuasa di Indonesia ?
Bagaimana arah kebijaksanaan Bapak Pembangunan
beserta Jajarannya dalam memenuhi seluruh kepentingan Rakyat Indonesia dari
Sabang sampai Merauke ?
Apa saja Hasil yang telah didapat Bangsa ini selama
masa pemerintahan Orde Baru tersebut ?
C. T U J U
A N
Menyimak latar belakang dan
mengetahui rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai.
Sebagai sorang Pelajar dan sekaligus salah satu Rakyat Indonesia yang merasa
ikut memiliki kebesaran Indonesia, tujuan yang dicanangkan adalah sebagai
berikut :
Pengetahuan Umum tentang bagaimana seharusnya kita
hidup bernegara dan berbangsa,
Menjadi pelajaran hidup tentang sebuah perjuangan
panjang untuk membangun sebuah Bangsa menjadi besar,
Memetik hikmah untuk mengikuti yang baik dan
meninggalkan yang buruk, kelak ketika jabatan sudah ada di tangan.
BAB II
LANDASAN
TEORI
Orde Baru
adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru
hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan
Orde Lama Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun
1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini.
Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin
melebar.
A. Masa
Jabatan Soeharto
Pada 1968, MPR
secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan
dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998.
1. Politik
Presiden
Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu
kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya.
Pada tahap
awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi
kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili
pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan
sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi
nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan
lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun
dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi
secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer,
khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi
rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena
70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga
melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap
dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep
akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi
politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada
satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan
Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto
mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
2. Eksploitasi sumber daya
Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun
tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
3. Warga Tionghoa
Warga
keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di
bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi
mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan
pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh
komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang
mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga
ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin
dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan
untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola
dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa
orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa
dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah
Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan
perdagangan dilakukan[rujukan?].
Orang Tionghoa
dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
B.
Perpecahan Bangsa
Di masa Orde
Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari
media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan
kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah
meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali
dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan
Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini
adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan
terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul
tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai
sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu
orang Jawa.
Pada awal Era
Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak
di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian
keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap
para transmigran.
C.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
· Perkembangan GDP per kapita
Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih
dari AS$1.000
· Sukses transmigrasi
· Sukses KB
· Sukses memerangi buta huruf
· Sukses swasembada pangan
· Pengangguran minimum
· Sukses REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun)
· Sukses Gerakan Wajib Belajar
· Sukses Gerakan Nasional
Orang-Tua Asuh
· Sukses keamanan dalam negeri
· Investor asing mau menanamkan
modal di Indonesia
· Sukses menumbuhkan rasa
nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
D.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
· Semaraknya
korupsi, kolusi, nepotisme
· Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah,
sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
· Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
· Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
· Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak
merata bagi si kaya dan si miskin)
· Kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan
.Kebebasan
pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan yang dibreideli
.Penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (petrus)
.Tidak ada
rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintahan presiden selanjutnya)
E. Krisis
finansial Asia
Pada
pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk
lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50
tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin
jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat.
Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri
Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti
ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk
menjadi presiden ketiga Indonesia.
F.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya
Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".
Masih adanya
tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih
belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering
disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
G. Sistem
Politik Orde Baru Tidak Bisa Memberantas Korupsi
Reaksi
terhadap tulisan Sdr Anwar Hasyim “ Betulkah kekayaan Presiden Suharto mencapai
16 milyar dollar AS ?” (Apakabar 23 Juli 1997) dan tulisan Sdr Atmo Prakoso
“Korupsi hanya bisa dibrantas kalau Pak Harto turun jabatan dan sistem politik
Orde Baru diganti” (Apakabar 19 Juli 1997)
- Korupsi yang merajalela di Indonesia adalah produk atau akibat sistem
politik dan struktur kekuasaan
- Korupsi hanya bisa dibersihkan
sesudah gulungtikarnya Orde Baru lewat revolusi politik
Dalam
tulisan-tulisan yang sudah disiarkan lewat Apakabar, sudah sering dikemukakan
bahwa kehadiran Pak Harto di pucuk pimpinan negara merupakan sumber dari banyak
penyakit parah dan penyebab terjadinya berbagai “ketidakberesan” dalam
kehidupan bangsa. Juga telah sering diungkap, bahwa selama Pak Harto masih
menjadi presiden, maka segala usaha untuk mengadakan perbaikan atau perobahan yang
mendasar dalam kehidupan politik dan pemerintahan akan sia-sia belaka. Dan,
bahwa perobahan lewat digulingkannya Orde Baru secara politik adalah
satu-satunya jalan untuk dapat dibrantasnya korupsi dan kolusi.
Sepintas lalu,
bagi sementara orang, kalimat-kalimat itu bisa dianggap “berbau subversif” dan
mengandung unsur-unsur “destabilisasi kekuasaan yang sah”, “melawan
undang-undang” atau, se-tidak-tidaknya menghina nama baik kepala negara.
Sebaliknya, realitas yang terdapat di negara kita selama 30 tahun Orde Baru
telah menyajikan banyak bukti-bukti bahwa sistem politik, yang dipaksakan oleh
Pak Harto dengan berbagai cara, memang telah menjuruskan bangsa kita ke muara
kerusakan moral yang serius dan kemacetan kehidupan demokratis.
Tulisan Sdr
Anwar Hasyim menyebutkan, antara lain : “Terlepas dari soal sampai mana
kebenarannya, tersiarnya berita tentang kekayaan Presiden Soeharto sebesar 16
milyar US$ menunjukkan bahwa sistem politik Orde Baru sudah perlu dirobah,
bahkan dibuang sama sekali, untuk diganti dengan sistem yang lebih sesuai
dengan arus zaman, dan yang bisa menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa
yang beradab. Reformasi politik sudah makin terasa urgen, yang bisa mencegah
adanya seorang kepala negara bisa memonopoli kekuasaan yang begitu besar,
sehingga tidak bisa lagi dikontrol oleh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang
mewakili kepentingan publik. Tetapi, berdasarkan pengalaman selama 30 tahun
pemerintahan Orde Baru, kita telah menyaksikan bahwa reformasi di bidang
politik adalah tidak mungkin. Sistem politik yang dikendalikan oleh Presiden
Suharto tidak menghendaki adanya perobahan atau perombakan.”
Untuk
melengkapi fikiran-fikiran yang sudah diutarakan di atas, bisalah kiranya
ditambahkan bahwa hanyalah ilusi belaka, kalau ada orang yang beranggapan bahwa
perbaikan-perbaikan mendasar bisa diadakan selama sistem politik model Orde
Baru masih ditrapkan secara paksa di bumi Indonesia. Tentu saja, segala macam
sarjana politik bisa saja terus membuat makalah-makalah mengenai perlunya
perbaikan, dan baik jugalah bahwa pakar-pakar ekonomi mengajukan
fikiran-fikiran tentang bagaimana membrantas korupsi, dan berguna pulalah bahwa
ahli-ahli hukum terus memprotes penyelewengan-penyelewengan yang banyak
terjadi. Ini semua perlu dilakukan terus. Tetapi, adalah hanya khayalan besar
saja, kalau ini semua dilakukan dengan dasar fikiran bahwa perbaikan mendasar
dan perobahan radikal bisa terjadi selama Orde Baru masih tegak.
Perbaikan dan
perobahan di Indonesia tidak bisa dilakukan “DALAM sistem” atau “BERSAMA sistem”
Orde Baru. Perobahan fundamental hanya bisa terjadi dengan mengusahakannya
lewat perjuangan yang dikembangkan oleh kekuatan politik “DILUAR sistem”. Dan
itu berarti bahwa perjuangan kekuatan politik “diluar sistem” ini, pada
akhirnya, akan bentrokan dengan “sistem” politik Orde Baru. Bentrokan ini bisa
terwujud dalam berbagai bentuk dan cara, dan dalam berbagai bidang, dan tidak
mesti atau selalu harus melalui kekerasan fisik yang mengakibatkan korban
darah, harta-benda atau nyawa. Bentrokan antara yang menginginkan perobahan
(yang terdiri dari berbagai golongan dalam masyarakat) dan yang menentang
perobahan (Presiden Soeharto, Golkar, Abri dan sebagian dari birokrasi) adalah
hal yang terelakkan.
Bentrokan-bentrokan
ini sudah terjadi sejak berdirinya Orde Baru, secara sporadis di-sana-sini dan
dalam skala yang relatif masih kecil, dan karenanya mudah ditumpas. Selama dua
tahun terakhir ini, bentrokan-bentrokan ini makin mencuat, dan mengambil bentuk
yang lebih berarti, sampai memakan korban jiwa dan harta-benda. Demonstrasi
besar-besaran di Gambir tahun 1996, peristiwa penyerbuan gedung PDI Jalan
Diponegoro, peristiwa Ujungpandang, Situbondo, Tasikmalaya, Sampang, Bangil
Pasuruan, dan kerusuhan dalam kampanye pemilu 97 adalah bagian dari
gelombang-gelombang perbenturan-perbenturan dengan sistem politik Orde Baru.
Dipenjarakannya sejumlah pemuda-pemudi pimpinan PRD dan PUDI dan Pakpahan juga
bukti tentang terus berlangsungnya bentrokan politik. Demikian juga pemogokan
buruh di mana-mana, dan aksi-aksi massa untuk mendukung perjuangan politik dan
gerakan moral Megawati.
Mengusahakan
perobahan yang fundamental (revolusi politik), adalah hak rakyat Indonesia, dan
bahkan merupakan kewajibannya. Dalam kaitan ini, bisalah diartikan bahwa usaha
berbagai gerakan pro-perobahan atau pro-demokrasi di Indonesia untuk mengganti
sistem politik dan pemerintahan yang sekarang adalah perjuangan politik yang
sah dan gerakan moral yang mulia. Adalah hak dan kewajiban warganegara
Indonesia untuk menyatakan perang jihad terhadap korupsi dan kolusi yang
dijalankan oleh pejabat-pejabat Orde Baru di berbagai kalangan. Adalah hak dan
kewajiban warganegara Indonesia untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan secara
se-wenang-wenang. Adalah hak dan kewajiban warganegara Indonesia untuk tidak
tunduk kepada peraturan-peraturan Orde Baru yang salah dan merugikan rakyat
banyak.
Tidak menyukai
sistem politik Orde Baru, bahkan menentangnya pula, adalah hak politik rakyat.
Jelasnya, menentang suatu politik Orde Baru bukanlah suatu kejahatan, dan bukan
pula sesuatu yang terlarang. Dalam situasi tertentu dalam sejarah rakyat
Indonesia, bahkan menentang suatu politik pemerintahan adalah tindakan yang
benar dan merupakan missi yang mulia. Dalam kaitan ini baik jugalah kiranya
kita ingat perjuangan para perintis kemerdekaan yang sudah “melanggar hukum
yang berlaku” atau yang menentang “peraturan-peraturan yang sah” dari
pemerintah kolonial Belanda (dan Jepang), sehingga mereka meringkuk di banyak
penjara kolonial dan dibuang ke Digul. Sejarah perjuangan Bung Karno dan Bung
Hatta bisa memberikan contoh.
Sistem politik
Orde Baru dibawah komando Presiden Soeharto adalah sistem kekuasaan yang tidak
mau menerima kontrol dari rakyat dan memandang rendah martabat rakyat. Padahal,
prinsip-dasar demokrasi, atau jiwa demokrasi, adalah bahwa rakyatlah yang harus
menjalankan kedaulatannya. Kasarnya, rakyatlah yang memerintah. Prinsip inilah
yang telah dianggap sepi saja oleh struktur kekuasaan politik Orde Baru.
Struktur kekuasaan Orde Baru telah menjadikan perangai para penguasa menyerupai
pemilik-tunggal negeri ini, yang dengan kepongahan telah menjadikan rakyat
sebagai kuda tunggangan, sambil menjarah kekayaan negeri secara beramai-ramai.
Pengertian-dasar
republik (res publica), yalah bahwa segala sesuatunya adalah demi dan untuk
umum. Umum/rakyat/publik , yaitu pemilik negeri ini, “meminjamkan” kekuasaan
kepada pemerintah, termasuk kepada presiden republik, untuk mengatur negara dan
menjalankan pemerintahan. Mereka ini, para penguasa (termasuk presiden) adalah,
kasarnya, “pegawai” rakyat. Rakyatlah yang membayar gaji mereka. Mereka
dipinjami – oleh rakyat - kekuasaan untuk mengatur negeri, dan bukan untuk
menyalahgunakaan kekuasaan, termasuk melakukan korupsi dan kolusi guna
memperkaya diri. Karenanya, pemerintah, termasuk presiden, harus memberikan
pertanggungan-jawab kepada rakyat (antara lain, lewat dewan perwakilan rakyat).
Tetapi, sistem
politik Orde Baru sudah merusak dan menjungkir-balikkan ini semua. Presidennya
sudah mengangkat dirinya sebagai raja absolut, dengan mengangkangi kekuasaan
yang luar biasa besarnya. Selama 30 tahun menjabat kedudukan sebagai presiden,
berbagai tindakan atau tingkah-lakunya menunjukkan bahwa ia sudah “lupa” kepada
prinsip-dasar “res publica”, yaitu bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah
sebenarnya pinjaman dari rakyat, untuk ikut mengatur negeri, dan bukannya untuk
mengumpulkan kekayaan yang sampai 16 milyar US$. ! Perangai yang serupa juga
diperlihatkan oleh banyak pejabat-pejabat Orde Baru di berbagai tingkat, yang
sering menunjukkan dengan kecongkakan - yang tidak sepantasnya - bahwa mereka
menganggap negeri ini adalah hanyalah milik mereka sendiri saja. Kita bisa
saksikan gejala-gejala semacam ini di Jakarta, di propinsi, di kabupaten dan di
kecamatan di seluruh Indonesia. Tingkah-laku pejabat-pejabat ini membuktikan
bahwa mereka “lupa” bahwa missi mereka adalah mengabdi kepada kepentingan
rakyat, dan bukannya untuk memperalat atau memusuhi rakyat. Skali lagi, mereka
adalah “pegawai” rakyat, dan bukan sebaliknya, menjadi “tuan” yang berdiri di
atas rakyat.
Sudah 30 tahun
lamanya, kita menyaksikan bahwa sistem kekuasaan Orde Baru ini dengan arogansi
telah meremehkan martabat rakyat, memandang rendah daya fikir rakyat,
menganggap sepi aspirasi rakyat. Dengan kesombongan “kekuatan senjata” sistem
ini telah “menggebug” berbagai golongan dalam masyarakat yang tidak menyokong
politik Orde Baru, dan yang ingin ikut juga “berbicara” mengenai urusan-urusan
republik sebagai pemilik-bersama negeri ini. Rakyat, yang merupakan sumber
“mandat” fihak eksekutif (presiden, kejaksaan agung, kepolisian, Abri dll)
telah dibungkam mulutnya, dan diborgol gerak-geriknya. Pemerintah telah
memandang rakyat sebagai fihak yang harus “dihadapi” sebagai lawan, dan
bukannya kawan, dengan jalan memaksakan 5 UU Politik : UU Pemilu (UU N°
1/1985), UU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU N° 2/1985), UU
tentang partai politik dan Golkar (UU N°3/1985), UU tentang referendum (UU
N°5/1985), dan UU tentang ormas (UU N°8/1985).
Dengan lima UU
Politik ini, sistem kekuasaan Orde Baru telah membatasi kegiatan-kegiatan
masyarakat dalam bidang politik, menutup saluran-saluran aspirasi demokratik,
mencegah golongan-golongan dalam masyarakat untuk mempersoalkan problem-problem
besar negara dan rakyat. Lima UU Politik ini digunakan untuk membiarkan rakyat
“bodoh politik”, sehingga mudah dimanipulasi dan “ditundukkan”. Juga untuk
mencegah lahirnya kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang bisa mempersoalkan
“missi” Orde Baru. Akibatnya : organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda
menjadi lemah, buruh-buruh dibiarkan menderita pemerasan tanpa pembelaan,
dewan-dewan perwakilan rakyat menjadi kumpulan togog-togog yang tidak pantas
dan tidak berhak menamakan diri “wakil rakyat”, hakim dan jaksa tidak berani
menjalankan tugasnya secara jujur, penyimpangan tugas dan penyelewengan jabatan
merajalela. Korupsi pun berkembang tanpa kendali.
Keparahan dan
kerumitan problem yang diakibatkan oleh Lima UU Politik menjadi lebih serius
lagi bagi kehidupan bangsa dengan ditrapkannya, secara buruk, konsep Dwifungsi
ABRI oleh Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto. Karena pentrapan yang
buruk inilah maka citra ABRI sebagai tentara rakyat sudah tercemar. Orde Baru
membuat dosa besar dalam sejarah bangsa, karena telah merusak ABRI. Rakyat kita
membutuhkan ABRI yang bisa dibanggakan sebagai pembela bangsa dan negara,
seperti yang pernah kita punyai sebelum Orde Baru berkuasa. Waktu itu kita
senang mendengar perumpamaan bahwa hubungan ABRI dengan rakyat adalah ibarat
ikan dengan air. Tetapi, sekarang ini, perumpamaan itu sudah tinggal menjadi
gombal belaka.
Pentrapan yang
buruk konsep Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru sudah membuat kerusakan-kerusakan
besar di berbagai bidang. Terutama sekali dalam bidang moral di kalangan ABRI.
Dengan konsep inilah sistem politik Presiden Suharto telah membikin ABRI
terlibat, terlalu jauh dan terlalu dalam, dalam urusan-urusan yang bukan
bidangnya, terutama di bidang politik. Dengan dalih stabilisator, dinamisator,
penjaga UUD 45, pengaman Pancasila, tokoh-tokoh ABRI di berbagai tingkat, telah
ditempatkan di-mana-mana : dalam pemerintahan sipil, dalam berbagai macam
lembaga politik , dalam sektor-sektor ekonomi, dalam diplomasi dan 1001 bidang
lainnya. Pentrapan yang salah konsep Dwifungsi telah melahirkan jaring-jaringan
kekuasaan yang ditugaskan untuk mempertahankan tegaknya Orde Baru. Artinya,
ditugaskan untuk mempertahankan statusquo dan berhadapan dengan arus perobahan
dan perombakan. Kita bisa mengharapkan bahwa angkatan muda dalam ABRI akhirnya,
pada waktunya, bisa mengkoreksi kesalahan-kesalahan besar ini, untuk
mengembalikan kedudukannya dalam tempat yang terhormat dalam hati rakyat.
Singkatnya,
mengingat struktur kekuasaan yang dibangun oleh Orde Baru dibawah pimpinan
Presiden Soeharto, kita tidak bisa mengharapkan bahwa perbaikan atau perobahan
bisa diusahakan oleh dan lewat sistem politik yang ada sekarang ini, termasuk
masalah pembrantasan korupsi. Budaya korupsi sudah “built-in”, sudah inheren,
sudah “dari sononya” pada sistem politik Presiden Suharto. Tidak mungkin akan
ada “gebrakan” yang berarti yang bisa diharapkan dari sistem ini untuk
memerangi korupsi dan kolusi. Contohnya, apa sajakah kiranya yang bisa
dilakukan oleh Orde Baru dalam menghadapi persoalan berita tentang kekayaan Pak
Harto sebesar 16 milyar US$ ?
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Orde Baru
adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru
hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang
dilakukan Orde Lama Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun
1968 hingga 1998. Disamping memiliki kekurangan, orde baru juga memiliki
beberapa kelebihan salah satunya sukses memerangi buta huruf.
B. KRITIK /
SARAN
Setiap orang
akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Alloh SWT. atas apa yang telah
dilakukannya selama hidup. Apalagi seorang Pemimpin dari ratusan juta orang.
Selain mempertanggungjawabkan kepada Alloh SWT. juga harus
mempertanggungjawabkan kepada orang – orang yang ada di bawah kepemimpinannya.
Berdasarkan hal di atas, saran –
sarannya adalah :
1. Sayang kepada keluarga sungguh mulia, tapi
bila merugikan Bangsa dan Negara maka ini sudah merupakan perbuatan kriminal.
Bisa dicontoh perbuatan Khalifah Umar Bin Abdul ‘Aziz yang mematikan lampu dari
biaya Negara ketika akan membicarakan urusan keluarga dengan putranya.
2. Memilah dan memilih Hubungan Kerja Sama dengan
Negara atau Organisasi Internasional yang menguntungkan Bangsa dan Negara bukan
hanya dalam jangka waktu pendek, tapi juga dalam jangka waktu panjang. Contoh :
Ruginya Bangsa dan Negara oleh IMF dan akibat Freeport yang konfliknya terus
berkepanjangan sampai saat ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Wayan, I
Badrika.(2006).Sejarah:Untuk SMA Kelas XI.Jakarta.Erlangga.
www.wikipedia.com
www.google.com
Komentar
Posting Komentar